Syarat Wajibnya Jumat, Bagaimana jika tidak memenuhi persyaratan? – Pembaca yang budiman dan baik hati rahimakumullah. Dalam halam ini kami fiqih.co.id in syaa Allah akan menyampaik materi tentang syarat wijibnya jumat. Materi ini kami sampaikan secara ringkas, jika antum menginginkan lebih lengkap dan jelas maka kami sarankan agar belajar kepada ahlinya.
Daftar Isi
Yang dimaksud debgan syarat adalah persyaratan yang mesti disiapkan sebelum memasuki perkara yang akan dikerjakan. Dan adpun “Wajibnya” ini adalah suatu ketentuan yang tidak boleh tidak mesti ada, jika tida ada maka jelas tidak boleh. Jumat adalah sholat Jum’at, yakni sholat yang wajib dilaksanakan dengan cara berjamaah dalam seminggu satu kali wajib dilaksanakan, apabila dilaksanakan dengan tidak berjamaah maka tidak sah.
Syarat Wajibnya Jumat
Keterangan mengenai syarat ini kami kutip dari kitab Fathul qarib yakni kitab fiqih dalam madzhab Syafii.
Tertulis dalam Fathul qari sebagai berikut;
وَشَرَائِطُ وُجُوْبِ الْجُمْعَةِ سَبْعَةُ أَشْيَاءَ الْإِسْلَامُ وَالْبُلُوْغُ وَالْعَقْلُ. وَهَذِهِ شُرُوْطُ أَيْضاً لِغَيْرِ الْجُمْعَةِ مِنَ الصَّلَوَاتِ (وَالْحُرِّيَةُ وَالذُّكُوْرِيَّةُ وَالصِّحَةُ وَالْاِسْتِيْطَانُ) فَلَا تَجِبُ الْجُمْعَةُ عَلَى كَافِرٍ أَصْلِيٍّ وَصَبِيٍّ وَمَجْنُوْنٍ، وَرَقِيْقٍ وَأُنْثَى وَمَرِيْضٍ وَنَحْوِهِ وَمُسَافِرٍ
Artinya; dan adapun syarat-syarat wajibnya jum’at itu ada 7 perkara, yaitu :
- Islam
- Sudah dewasa (baligh)
- Berakal sehat. Ketiga syarat ini juga berlaku bagi shalat-shalat selain dari pada shalat jum ‘at.
- Merdeka
- Laki-laki
- Sehat badan
- Menetap.
Tidak wajib jum’atan bagi
- Orang kafir yang asli.
- Anak kecil (belum dewasa).
- Orang gila.
- Budak.
- Orang perempuan.
- Orang yang sakit, dan yang serupa.
- Orang yang bepergian.
Para pembaca yang dirahmati Allah. Setelah cukup syarat-syarat tersebut maka yang bersangkut scara individu ia telah dikenai wajibnya berjumatan. Dan apa bila orang yang sudah berkewajiban jumat lantas dia tidak melaksanakannya maka sudah pasti ia berdosa.
Lain dari itu juga ada syarat sahnya dalam menunaikan sholat jum’at.
Syarat sahnya mengerjakan jumat
kutip dari kitab Fathul qarib salahsatu fiqih dalam madzhab Syafii terteulis sebagai berikut;
وَ شَرَائِطُ صَحَةِ (فِعْلِهَا ثَلَاثَةٌ) الْأَوَّلُ دَارَ اْلِإقَامَةِ الَّتِيْ يَسْتَوْطِنُهَا الْعَدَدُ الْمَجْمُعُوْنَ سَوَاءٌ فِيْ ذَلِكَ الْمَدَنُ وَالْقُرَى الَّتِيْ تَتَخِذُ وَطَناً، وَعَبَرَ الْمُصَنِّفُ عَنْ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ (أَنْ تَكُوْنَ الْبَلَدُ مِصْراً) كَانَتِ الْبَلَدُ (أَوْ قَرْيَةً وَ) الثَّانِيْ (أَنْ يَكُوْنَ الْعَدَدُ) فِيْ جَمَاعَةِ الْجُمْعَةِ (أَرْبَعِيْنَ) رَجُلاً (مِنَ أَهْلِ الْجُمْعَةِ) وَهُمْ الْمُكَلَّفُوْنَ الذُّكُوْرُ الْأَحْرَارُ الْمُسْتَوْطِنُوْنَ بِحَيْثُ لَا يَظْعُنُوْنَ عَمَا اِسْتَوْطِنُوْهُ شِتَاءً، وَلَا صَيْفاً إِلَّا لِحَاجَةٍ. (وَ) الثَّالِثُ (أَنْ يَكُوْنَ الْوَقْتُ بَاقِياً) وَهُوَ وَقْتُ الظُّهْرِ فَيُشْتَرَطُ أَنْ تَقَعَ الْجُمْعَةُ كُلُّهَا فِيْ الْوَقْتِ، فَلَوْ ضَاقَ وَقْتُ الظُّهْرِ عَنْهَا بِأَنْ لَّمْ يَبْقَ مِنْهُ مَا يَسَعُ الَّذِيْ لَا بُدَ مِنْهُ فِيْهَا مِنْ خُطْبَتَيْـهَا وَرَكْعَتَيْـهَا صُلِيَتْ ظَهْراً
Syaratsyarat shahnya mengerjakan Jum’atan ada 3 (tiga) yaitu:
Pertama : Adanya tempat yang tertentu, di mana orang-orang yang berjum’atan itu menetap (di tempat tinggalnya sendiri) baik tempat tersebut terletak di kota-kota atau desa yang menjadi tempat tinggal. Mushannif telah menggambarkan “tempat yang tertentu” itu melalui perkataannya, bahwa tempat tersebut hendaknya berupa kota atau desa.
Kedua : Orang-orang yang berjama’ah jum’at itu harus berjumlah 40 orang laki-laki yang sudah biasa jum’atan (ahli jum’atan) yaitu orang-orang yang sudah mukallaf, harus laki-laki, merdeka yang sudah meinetap, sekiranya pada musim hujan dan kemarau mereka tidak berpindah dari tempat tinggalnya kecuali bila ada maksud tertentu.
Ketiga : Waktu jum’at itu harus ada di waktu Dzuhur, oleh karena itu maka disyaratkan, bahwa seluruh jum’at itu harus jatuh di dalam waktu Dzuhur tersebut. Seandainya waktu Dzuhur sudah sempit untuk dipergunakan berjum’atan, yaitu sekiranya tidak dapat dipergunakan untuk melakukan dua khuthbah dan mengerjakan dua rakaat shalat jum’at maka hendaknya melakukan shalat Dzuhur saja.
Ketentuan jika keluar dari waktunya
Bagaimana jika waktu sudah habis baik secara jelas atau hanya perkiraan?, berikut ini penjelasannya;
فَإِنْ خَرَجَ الْوَقْتُ أَوْ عَدَمَتْ الشُّرُوْطُ أَيْ جَمِيْعُ وَقْتِ الظُّهْرِ يَقِيْناً أَوْ ظَناً وَهُمْ فِيْهَا (صُلِّيَتْ ظُهْراً) بِنَاءً عَلَى مَا فُعِلَ مِنْهَا، وَفَاتَتِ الْجُمْعَةُ سَوَاءٌ أَدْرَكُوْا مِنْهَا رَكْعَةً أَمْ لَا، وَلَوْ شَكُّوْا فِيْ خُرُوْجِ وَقْتِهَا وَهُمْ فِيْهَا أَتِمُّوْهَا جُمْعَةً عَلَى الصَّحِيْحِ
Jika seluruh waktu Dzuhur itu telah habis secara yakin atau berdasar dugaan, sedang para ahli jum’at (jama’ah jum’at) sudah berada di dalamnya, atau karena tidak adanya beberapa syarat (sebagaimana tersebut di atas tadi) maka hendaknya shalat Dzuhur saja.
Hal ini semata-mata karena menegakkan atas sesuatu yang telah diperbuat dari jum’atan itu sendiri dan menjadi fot (bersetatus sebagai orang yang tertinggal) jum’atannya, baik mereka itu sudah menemukan satu rakaatnya shalat jum’at atau tidak. Jika para jama’ah jum’at (ahli jum’at) sama ragu-ragu dalam hal habisnya waktu jum’at, sedang mereka berada di dalam jum’atan maka hendaknya menyempurnakan jum’atannya. Demikian menurut pendapat yang shaheh.
Fardu Jumat
Sabagaiman disebutkan dalam Fathul qorib;
وَفَرَائِضُهَا وَمِنْهُمْ مَنْ عَبَّرَ عَنْهَا بِالشُّرُوْطِ (ثَلَاثَةٌ) أَحَدُهَا وَثَانِيْهَا (خُطْبَتَانِ يَقُوْمُ) الْخَطِيْبُ (فِيْهِمَا وَيَجْلِسُ بَيْنَهُمَا) قَالَ الْمُتَوَّلِيُّ بِقَدْرِ الطُّمَأْنِيْنَةُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ، وَلَوْ عَجَزَ عَنِ الْقِيَامِ وَخَطَبَ قَاعِداً أَوْ مُضْطَجِعاً، صَحَ وَجَازَ الْاِقْتَدَاءُ بِهِ، وَلَوْ مَعَ الْجَهْلِ بِحَالِهِ وَحَيْثُ خَطَبَ قَاعِداً فَصَلَ بَيْنَ الْخُطْبَتَيْنِ بِسَكْتَةٍ لَا بِاِضْطِجَاعٍ
Adapun fardhunya jum’at itu ada tiga. Sebagian Ulama menggambar bahwa fardhunya jum’at itu samadengan syarat-syarat jum ‘at.
Pertama : yaitu harus ada dua khuthbah yang dilakukan dengan berdiri.
Kedua : duduk di antara dua khutbah. Imam Mutawally berpendapat, bahwa duduk di antara dua khutbah itu lamanya sebagaimana lamanya Thuma’ninah dalam duduk di antara dua sujud. Seandainya orang yang berkhuthbah itu tidak mampu berdiri dan ia melakukan khuthbah dengan duduk atau tiduran berbaring, maka hukumnya shah dan boleh mengikuti khothib, meskipun tidak mengetahui keadaannya khothib. Sekiranya khothib (yang berkhuthbah) itu berkhuthbah dengan duduk, maka hendaknya memisahkan antara dua khothbah dengan berdiam diri, tidak dengan tiduran berbaring.
Selanjutnya kita akan bicarkan tentang Rukun Khutbah Jumat, maka antuk klik pada link ini; Rukun Khutbah
Demikan materi fiqih tentang; Syarat Wajibnya Jumat, Bagaimana jika tidak memenuhi persyaratan? -Semoga bermanfaat untuk kita semua. Abaikan saja materi ini jika pembaca merasa kurang pas. Terimakasih atas kunjungannya, Wallahul Muwaffiq ila aqwamith thooriq.