Hukum Shalat Berjamaah : (Wajib Atau Sunnah Muakkad?) – Pada kesemptan kali ini Fiqih.co.id akan menerangkan tentang Hukum Shalat Berjamaah. Memang Berjamaah Shalat fadhu itu ada perbedaan pandanga. Lalu bagaimana keterangan lebih jelasnya?.
Daftar Isi
Hukum Shalat Berjamaah : (Wajib Atau Sunnah Muakkad?)
Berjamaah Shalat Fardhu itu ada yang berpendapat wajib ada juga yang mengatakan sunnah muakkad. Dalam Pemabahsanya kami hanya menukil sesuai dengan yang tertulis dalam Ftahul qorib.
Mukodimah
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهْ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ الْكَرِيْمِ، سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ
Para Pembaca, Kaum Muslimiin muslimat, dan Para Santri, Rahimakumllah. Dalam uraian tentang Hukum Shalat Berjamaah tersebut kami tuliskan satu pasal dari Fathul qorib.
Oleh karena itu barangkali pembaca ada yang tidak sependapat dengan uraian kami ini, kami mohon ma’af. Dan untuk lebih jelsanya mari kita baca bersama uraian berikut ini:
Fasal Shalat Berjamaah
﯁(فَصْلٌ): وَصَلَاةُ الْجَمَاعَةِ. لِلرِّجَالِ فِيْ الْفَرَائِضِ غَيْرَ الْجُمْعَةِ (سُنَّةٌ مُؤَكَدَةٌ) عِنْدَ الْمُصَنِفِ وِالرَّافِعِي، وَالْأَصَحُ عِنْدَ النَّوَوِيْ أَنَّهَا فَرْضُ كِفَايَةٍ، وَيُدْرِكُ الْمَأْمُوْمُ الْجَمَاعَةَ مَعَ الْإِمَام فِيْ غَيْرِ الْجُمْعَةِ مَا لَمْ يُسَلِّمْ التَّسْلِيْمَةَ الْأُوْلَى، وَإِنْ لَمْ يَقْعُدْ مَعَهُ أَمَّا الْجَمَاعَةُ فِي الْجُمْعَةِ فَفَرْضُ عَيْنٍ، وَلَا تَحْصِلُ بِأَقَلِ مِنْ رَكْعَةٍ
Pasal: Menerangkan tentang shalat fardhu dengan berjama’ah bagi orang laki-laki selain shalat Jum’at, hukumnya adalah sunnah yang sangat ditekankan. Demikian menurut pendapat mushannif dan Imam Rafi’i. Adapun pendapat yang lebih shaheh, menurut Imam Nawawi, bahwa shalat berjama’ah tersebut hukumnya fardhu kifayah.
Hendaknya dapat bermakmum dengan imam, selain shalat Jum’at, selama Imam itu belum melakukan salam yang pertama, meskipun si makmum belum sempat duduk beserta imam.
Adapun berjama’ah dalam shalat Jum’at, maka hukumnya fardhu ain dan shalat Jum’at dinyata kan tidak berhasil, kecuali paling tidak makmum sudah menemukan satu rakaat (dari shalat jama’ah Jum’at).
Makmum Wajib Niat Mengikuti Imam
﯁(وَ) يَجِبُ (عَلَى الْمَأْمُوْمِ أَنْ يَنْوِيَ الْاِئْتِمَامَ) أَوْ الْاِقْتِدَاءَ باِلْإِمَامِ وَلَا يَجِبُ تَعْيِيْنُهُ بَلْ يَكْفِي الْاِقْتِدَاءُ بِالْحَاضِرِ إِنْ لَمْ يَعْرِفْهُ، فَإِنْ عَيَّنَهُ وَأَخْطَأَ بَطَلَتْ صَلَاتُهُ إِلَّا إِنْ انْضَمَتْ إِلَيْهِ إِشَارَةٌ كَقَوْلِهِ: نَوَيْتُ الْاِقْتِدَاءَ بِزَيْدٍ هَذَا فَبَانَ عَمْراً فَتَصِحُ (دُوْنَ الْإِمَامِ) فَلَا يَجِبُ فِيْ صَحَةِ الْاِقْتِدَاءِ بِهِ فِيْ غَيْرِ الْجُمْعَةِ نِيَّةُ اْلِإمَامَةِ، بَلْ هِيَ مُسْتَحَبَّةٌ فِيْ حَقِّهِ، فَإِنْ لَمْ يَنْوِ فَصَلَاتُهُ فُرَادَى
Bagi makmum wajib niat mengikuti imam, tidak wajib menentukan imamnya, tetapi cukup niat mengikuti dengan imam yang ada di situ, meskipun si makmum tersebut tidak mengetahui imamnya.
Apabila si makmum menentukan niatnya kepada seorang imam, tiba-tiba keliru (salah) maka menjadi bathal shalatnya.
Keterangan Niatnya Seorang Makmum
- Bagi orang yang shalat bermakmum dengan imam, maka wajib niat mengikuti imam begitu saja. Tidak perlu dijelaskan imam. Misalnya : Aku niat shalat Dzuhur dengan Imam si Ahmad.
- Sebab jika ditentukan makmum dengan imam si Ahmad, tiba-tiba salah karena ternyata yang menjadi imam itu bukan Ahmad melainkan si Bakar, maka hal ini berakibat menjadikan shalatnya bathal.
- Jika penentuannya kepada imam itu dengan isyarat, seperti ucapan makmum: Aku niat mengikuti Zaid ini, ternyata yang menjadi imam adalah Umar, maka shah shalatnya.
Bagi imam tidak wajib niat menjadi imam di dalam hal shahnya mengikutinya selain shalat Jum’at, tetapi niat menjadi imam itu hukumnya disunnahkan.
Apabila ia tidak niat menjadi imam, maka shalatnya dihukumi seperti shalat sendirian.
Hukum Bermakmum
﯁(وَيَجُوْزُ أَنْ يَأْتِمَ الْحُرُّ بِالْعَبْدِ وَالْبَالِغُ باِلْمُرَاهِقِ) أَمَّا الصَّبِيُّ غَيْرُ الْمُمَيِّزِ فَلَا يَصِحُ الْاِقْتِدَاءُ بِهِ (وَلَا تَصِحُ قُدْوَةُ رَجُلٍ بِامْرَأَةٍ) وَلَا بِخُنْثَى مُشْكِلٍ وَلَا خُنْثَى مُشْكِلٌ بِامْرَأَةٍ وَلَا بِمُشْكِلٍ (وَلَا قَارِىءٌ) وَهُوَ مَنْ يُحْسِنُ الْفَاتِحَةَ، أَيْ لَا يَصِحُ اِقْتِدَاؤُهُ (بِأُمِّيٍّ) وَهُوَ مَنْ يُخِلُّ بِحَرْفٍ أَوْ تَشْدِيْدَةٍ مِنَ الْفَاتِحَةِ. ثُمَّ أَشَارَ الْمُصَنِفُ لِشُّرُوْطِ الْقُدْوَةِ بِقَوْلِهِ (وَأَيُّ مَوْضِعٍ صَلَّى فِيْ الْمَسْجِدِ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ فِيْهِ) أَيْ فِي الْمَسْجِدِ (وَهُوَ) أَيْ الْمَأْمُوْمُ (عَالِمٌ بِصَلَاتِهِ) أَيْ الْإِمَامِ بِمُشَاهَدَةِ الْمَأْمُوْمِ لَهُ أَوْ بِمُشَاهَدِتِهِ بَعْضِ صَفٍّ (أَجْزَأَهُ) أَيْ كَفَّاهُ ذَلِكَ فِيْ صَحَةِ الْاِقْتِدَاءِ بِهِ (مَا لَمْ يَتَقَدَّمْ عَلَيْهِ) فَإِنْ تَقَدَّمَ عَلَيْهِ بِعَقَبِهِ فِيْ جِهَتِهِ لَمْ تَنْعَقِدْ صَلَاتُهُ، وَلَا تَضُرُّ مُسَاوَاتُهُ لِإِمَامِهِ.﯁
Boleh orang yang merdeka makmum dengan budak dan orang yang sudah baligh makmum dengan anak yang belum baligh.
Adapun anak kecil yang belum nalar, maka tidak shah hukumnya mengikuti dengan anak tersebut. Tidak shah hukumnya orang laki-laki bermakmum dengan orang perempuan. Tidak shah pula bermakmum dengan orang banci yang merepotkan. Orang banci yang merepotkan dengan orang perempuan dan atau sama bancinya.
Orang yang sudah baik bacaan fatihahnya tidak shah makmum dengan orang yang buta hurup. Yaitu orang yang merusakkan sesuatu huruf atau tasydidnya Fatihah.
Kemudian mushannif memberikan petunjuknya tentang syaratnya makmum. Bahwa di mana saja shalatnya makmum dengan shalatnya imam bersama-sama dalam masjid. Sedangkan makmum mengetahui sendiri dengan shalatnya imam atau boleh juga si makmum melihat sebagian barisan orang yang ada (didepannya) maka hukum shalatnya makmum itu shah.
Yakni sudah mencukupi syarat shahnya mengikuti imam, selama si makmum tersebut tidak mendahului kepada shalatnya imam.
Jika si makmum mendahului imam dengan melebihi telapak kakinya imam, maka tidak shah shalatnya. Tetapi tidak berbahaya (tidak berpengaruh) bagi makmum yang menyamakan diri dengan imamnya.
Posisi Makmum
وَيُنْدَبُ تَخَلُفُهُ عَنْ إِمَامِهِ قَلِيْلاً وَلَا يَصِيْرُ بِهَذَا التَّخَلُّفِ مُنْفَرِداً عَنِ الصَّفِّ حَتَّى لَا يَجُوْزُ فَضِيْلَةَ الْجَمَاعَةِ، (وَإِنْ صَلَّى) الْإِمَامُ (فِي الْمَسْجِدِ وَالْمَأْمُوْمُ خَارِجَ الْمَسْجِدِ) حَالَ كَوْنِهِ (قَرِيْباً مِنْهُ) أَيْ الْإِمَامِ بِأَنْ لَمْ تَزِدْ مَسَافَةُ مَا بَيْنَهُمَا عَلَى ثَلَاثِمِائَةِ ذِرَاعٍ تَقْرِيْباً (وَهُوَ) أَيْ الْمَأْمُوْمُ (عَالِمُ بِصَلَاتِهِ) أَيْ الْإِمَامِ (وَلَا حَائِلَ هُنَاكَ) أَيْ بَيْنَ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُوْمِ (جَازَ) الْاِقْتِدَاءُ بِهِ، وَتُعْتَبَرُ الْمَسَافَةُ الْمَذْكُوْرَةُ مِنْ آخِرِ الْمَسْجِدِ، وَإِنْ كاَنَ الْإِمَامُ وَالْمَأْمُوْمُ فِيْ غَيْرِ الْمَسْجِدِ إِمَّا فَضَاءً أَوْ بِنَاءً، فَالشَّرْطُ أَنْ لَا يَزِيْدَ مَا بَيْنَهُمَا عَلَى ثَلَاثِمِائَةِ ذِرَاعٍ، وَأَنْ لَا يَكُوْنَ بَيْنَهُمَا حَائِلٌ.
Bagi makmum disunnahkan berada di belakang imam (jaraknya sedikit saja) dan tidak menjadi soal bagi makmum dengan posisi mundur sendirian dari barisan, sehingga tidak memperoleh ke utamaannya berjamaah.
Jika imam shalat di dalam masjid dan makmum di luar masjid, sedangkan jaraknya makmum dengan imam dekat posisinya, sekiranya tidak melebihi jarak kira-kira 300 dzira”, keadaan makmum dapat melihat shalatnya imam, juga tidak terdapat benda pemisah antara keduanya maka boleh mengikuti imam tersebut, dan jarak itu dihitung dari akhir batas masjid. Jika imam dan makmum itu tidak di masjid, misalnya di tanah lapang atau dalam suatu bangunan, maka shah ikutnya makmum kepada imam dengan syarat jangan sampai antara imam dan makmum itu jaraknya lebih dari kira-kira 300 dzira’ dan di antara keduanya tidak terdapat pemisah.
Demikian Uraian kami tentang: Hukum Shalat Berjamaah : (Wajib Atau Sunnah Muakkad?) – Semoga bermanfaat dan memberikan tambahan ilmu pengetahuan untuk kita semua. Abaikan saja uraia kami ini jika pembaca tidak sependapat.Terima kasih atas kunjungannya. Wallahu A’lamu bish-showab.