Nazar; Hukum Serta Pembagiannya Menurut Dalam Fiqih – Perkara ini Penting agar kita mempelajari dan memahaminya. Pada Artikel ini fiqih.co.id akan menuliskan secera singkat Sesuai Kutipannya. Dan ini Kami kutip dari Kitab Fathul Qoribul Mujib Fasal Ahkamin Nudzur.
Daftar Isi
Nazar; Hukum Serta Pembagiannya Menurut Dalam Fiqih
Sebagaimana telah diterangkan pada matrei sebelum ini yaitu tentang kata “Al-Aiymaan” Yang berarti Sumpah. Dalam hal ini mari kita tela’ah dalam pengertian ini.
Misal kita bersumpah untuk tidak akan menjual ayam kita, tapi kenyataannya salah satu anggota keluarga kita menjualnya. Lantas bagaiman jika terjadi perihal seperti itu? Apakah sumpah tersebut berlaku atau tidak?. Simak penjelasannya sbagai berikut;
Nazar dan Hukumnya
Nazar adalah merupakna I’tiqad ibadah diluar wajib menurut pandangan syara yang mengikat menjadi wajib. Diterangkan dalam Fathul qarib sebagai berikut;
فصلٌ): فِيْ أَحْكَامِ الُّنُذُوْرِ. جَمْعُ نَذْرٍ وَهُوَ بِذَالٍ مُعْجَمَةٍ سَاكِنَةٍ، وَحُكِيَ فَتْحُهَا وَمَعْنَاهُ لُغَةً الْوَعْدُ بِخَيْرٍ أَوْ شَرٍّ، وَشَرْعاً اِلْتِزَامُ قُرْبَةٍ غَيْرِ لَازِمَةٍ بِأَصْل الشَّرْعِ
Pasal : Menerangkan tentang hukum-hukum Nadzar. Kata : ‘Nudzur” adalah jamak dari kata : “Nadzrin”, yaitu dengan menggunakan hurup Dzal mati yang dititik, dan diceritakan yaitu (dengan memakai dzal, pen.) yang berfat-hah. Adapun makna Nadzar menurut bahasa ialah “janji”. Sedang menurut syarak Nadzar ialah menetapkan tindak ibadah yang tidak wajib menurut asal syarak.
Nazar Terbagi Dua
Nazar (Nadzar) ini terbagi dua bagian yaitu nazar Lajaj dan yang keduanya nazar mujazah. Dan untuk memahaminya mari kita lanjut baca keterangan berikurt ini;
وَ النَّذُر ضَرْبَانِ أَحَدُهُمَا نَذْرُ اللَّجَاجِ بِفَتْحِ أَوَّلِهِ وَهُوَ التَّمَادِيْ فِيْ الْخُصُوْمَةِ، وَالْمُرَادُ بِهَذَا النَّذْرِ أَنْ يَخْرُجَ مُخْرَجَ الْيَمِيْنِ، بِأَنْ يَقْصِدَ النَّاذِرُ مَنْعَ نَفْسِهِ مِنْ شَيْءٍ، وَلَا يَقْصِدَ الْقُرْبَةَ وَفِيْهِ كَفَارَةُ يَمِيْنٍ أَوْ مَا الْتَزَمَهُ بِالنَّذْرِ
Nadzar itu ada dua macann, yaitu
Pertama : Nadzar Lajjaj (dengan dibaca fat-hah hurup yang permulaan) yaitu memperpanjang perbantahan. Adapun yang dikehendaki dengan nadzar ini yaitu suatu nadzar yang keluar karena adanya sumpah yang keluar di mana si Nadzir (orang yang bersumpah) mencegah dirinya dari (melakukan) sesuatu tidak bermaksud ibadah, dan dalam hal ini wajib membayar kafarat sumpah atau menetapkannya dengan nadzar.
Nazar yang kedua (Al-Mujazah)
Adapun yang dimaksud dengan Nazar Mujazah adalah sebagai bertikut;
وَثَانِيهَا نَذْرُ الْمُجَازَاةِ وَهُوَ نَوْعَانِ، أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يُعَلِّقَهُ النَّاذِرُ عَلَى شَيْءٍ كَقَوْلِهِ اِبْتِدَاءً لِلَّهِ عَلَيَّ صَوْمٌ أَوْ عِتْقٌ، وثَانِيْهِمَا أَنْ يُعَلِّقَهُ عَلَى شَيْءٍ وَأَشَارَ لَهُ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ (وَالنَّذْرُ يَلْزِمُ فِيْ الْمُجَازَاةِ عَلَى) نَذْرِ (مُبَاحٍ وَطَاعَةٍ كَقَوْلِهِ) أَيْ النَّاذِرِ (إِنْ شَفِىَ اللهُ مَرِيْضِيْ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ مَرَضِيْ أَوْ إِنْ كُفِيَتْ شَرَّ عَدُوِّيْ (فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أُصَلِّيَ أَوْ أَصُوْمَ أَوْ أَتَصَدَّقَ وَيَلْزِمُهُ) أَيْ النَّاذِرَ (مِنْ ذَلِكَ) أَيْ مِمَّا نَذَرَهُ مِنْ صَلَاةٍ أَوْ صَوْمٍ أَوْ صَدَقَةٍ (مَا يَقَعُ عَلَيْهِ الْاِسْمُ) مِنَ الصَّلَاةِ وَأَقَلُّهَا رَكْعَتَانِ أَوِ الصَّوْمِ وَأَقَلُّهُ يَوْمٌ أَوِ الصَّدَقَةِ، وَهِيَ أَقَلُّ شَيْءٍ مِمَّا يَتَمَوَّلُ وَكَذَا لَوْ نَذَرَ التَّصَدُقَ بِمَالٍ عَظِيْمٍ كَمَا قَالَ الْقَاضِي أَبُوْ الطَّيِّبِ
Kedua : Nadzar Mujazah, yaitu ada dua macam
- Si Nadzir (yang bernadzar) tidak menggantungkan nadzarnya atas sesuatu. Seperti ucapan Nadzir yang permulaan “Karena Allah wajib atas aku puasa atau memerdekakan (budak).
- Si Nadzir menggantungkan nadzarnya atas sesuatu. Mushannif memberikan petunjuk kepada nadzar macam kedua dengan melalui perkataannya bahwa nadzar itu tetap wajib dalam hal melaksanakan suatu nadzar yang digantungkan atas perkara yang mubah dan perbuatan taat. Seperti ucapan Nadzir : “Jika Allah menyehatkan (menghilangkan) penyakitku (menurut sebagian keterangan menggunakan kata “sakitku atau aku dicegah dari kejelekan musuhku”), maka dengan karena Allah wajib atas aku yaitu mengerjakan shalat atau puasa atau memberi shadaqah”.
Dan wajiblah bagi Nadzir dari nadzar itu tadi, artinya dari apa yang ia menadzarkannya berupa shalat, puasa atau shadaqah yaitu segala yang terjadi pada nama shalat, paling sedikitnya shalat yaitu dua rakaat, atau puasa, paling sedikitnya yaitu sehari, atau shadaqah, paling sedikit berupa sesuatu yang dapat menjadi uang (bernilai, pen.) Demikian pula jika seseorang bernadzar untuk shadaqah dengan harta yang besar (banyak, pen.) sebagaimana pendapat Qadli Abu Ath-Thayyib.
Nazar Bukan untuk maksiat
Tidak boleh bernazar untuk maksiat dan secara hukum nazar tersebut tidak sah. Dalam hal ini Mushanif menjelaskan sebagai berikut:
ثُمَّ صَرَحَ الْمُصَنِّفُ بِمَفْهُوْمِ قَوْلِهِ سَابِقاً عَلَى مُبَاحٍ فِيْ قَوْلِهِ (وَلَا نَذْرَ فِيْ مَعْصِيَةٍ) أَيْ لَا يَنْعَقِدُ نَذْرُهَا (كَقْوْلِهِ إِنْ قَتَلْتُ فُلَاناً) بِغَيْرِ حَقٍّ (فَلِلَّهِ عَلَيَّ كَذَا) وَخَرَجَ بِالْمَعْصِيَةِ نَذْرُ الْمَكْرُوْهِ كَنَذْرِ شَخْصٍ صَوْمَ الدَّهْرِ، فَيَنْعَقِدُ نَذْرُهُ وَيَلْزِمُهُ الْوَفَاءُ بِهِ، وَلَا يَصِحُّ أَيْضاً نَذْرُ وَاجِبٍ عَلَى الْعَيْنِ. كَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ أَمَّا الْوَاجِبُ عَلَى الْكِفَايَةِ فَيَلْزِمُهُ كَمَا يَقْتَضِيْهِ كَلَامُ الرَّوْضَةِ وَأَصْلِهَا
Kemudian Mushannif menjelaskan pemahaman pendapatnya terdahulu atas “kebolehan” dalam perkataannya, bahwa tidak ada nadzar dalam kaitannya dengan maksiyat, artinya bahwa nadzar maksiyat itu tidak boleh (tidak sah). Seperti ucapan Nadzir “Jika aku membunuh si Fulan dengan jalan tidak benar, maka karena Allah wajib melakukan sesuatu”. Kecuali nadzar maksiat, yaitu nadzar perkara yang makruh. Seperti nadzar seseorang untuk berpuasa selama satu tahun maka terjadilah nadzar makruh itu dan bagi Nadzir wajib melaksanakannya. Demikian juga tidak sah nadzar wajib dalam arti wajib ‘Ain, seperti shalat lima waktu. Adapun wajib kifayah, maka bagi Nadzir melaksanakan nadzarnya, sebagaimana keterangan yang sesuai dengan perkataan kitab Raudhah dan aslinya.
Nazar yang disepakati Ulama
Keterangan :
Para Ulama bersepakat, babwa seseorang yang bernadzar untuk melakukan taat kepada Allah swt, maka nadzar tersebut wajib dilaksanakan, jika tidak dilaksanakan berarti ia telah melanggar nadzamya, karena itu wajib membayar kafarat seperti dan sebanyak kafarat sumpah. Sedangkan bila nadzar itu untuk maksiyat (nadzar melakukan maksiyat) maka tidak wajib dilaksanakan, malahan harus ditinggalkan
وَلَا يَلْزِمُ النَّذْرُ) أَيْ لَا يَنْعَقِدُ (عَلَى تَرْكِ مُبَاحٍ) أَوْ فَعْلِهِ فَالْأَوَّلُ (كَقَوْلِهِ لَا آكُلُ لَحْماً وَلَا أَشْرَبُ لَبَناً وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ) مِنَ الْمُبَاحِ كَقَوْلِهِ لَا أَلْبِسُ كَذَا، وَالثَّانِيْ نَحْوُ آكُلُ كَذَا وَأَشْرَبُ كَذَا، وَأَلْبِسُ كَذَا، وَإِذَا خَالَفَ النَّذْرَ الْمُبَاحَ لَزِمَهُ كَفَارَةُ يَمِيْنٍ عَلَى الرَّاجِحِ عِنْدَ الْبَغَوِيِّ، وَتَبِعَهُ الْمُحَرَّرُ وَالْمِنْهَاجُ لَكِنْ قَضَيِةُ كَلَامِ الرَّوْضَةِ وَأَصْلِهَا عَدَمُ اللُّزُوْمِ.
Dan tidak wajib suatu nadzar, artinya tidak bisa terjadi suatu nadzar untuk meninggalkan perkara yang dimubahkan atau melaksanakan perkara mubah, maka sebagai contoh pertama. seperti ucapan si nadzir (yang nadzarl) “Aku tidak akan memakan daging dan tidak akan memium susu serta barang mubah yang menyerupainya, seperti ucapan si nadzir : “Saya tidak akan memakai itu”.
Adapun yang kedua, yaitu seperti (ucapan nadzir, pen.) : “Aku akan memakan itu, meminum itu dan memakan itu”. Jika si Nadzir menyalahi nadzar yang dimubahkan itu, maka baginya wajib membayar kafarat sumpah bagi pendapat yang unggul menurut Imam Baghawi, dan keterangan kitab Muharrar dan Minhaj mengikuti pendapat Imam Baghawi, tetapi menurut sebenarnya keterangan kitab Raudhah dan asalnya, yaitu tidak ada kewajiban membayar kafarat.
Demikian Materi tentang ; Nazar; Hukum Serta Pembagiannya Menurut Dalam Fiqih – semoga saja materi yang sesingkat ini dapat difahami oleh para pembaca. Mohon abaikan saja bila dalam materi tersebut tidak sefaham dengan para pembaca. Terimaksih kami ucapka atas kunjungannya.